Senin, 10 Juni 2013

Speech Act/Tindak Tutur Versi Grice



Speech Act/Tindak Tutur Versi Grice
By: Ulul Azmi

Tindak tutur merupakan salah satu fenomena yang dikenal dengan istilah pragmatik. Pragmatik sendiri lazim diberi definisi sebagai “telaah mengenai hubungan di antara lambang dan penafsiran” (Purwo, 1990). Yang dimaksud dengan lambang disini adalah satuan ujaran, entah berupa satu kalimat atau lebih, yang membawa makna tertentu, yang di dalam pragmatik ditentukan atas hasil penafsiran si pendengar.
Grice (Mujiyono, 1996:40) mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama. Kerjasama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat maksim, yaitu :
1.    Maksim Kuantitas
Dalam maksim kuantitas ini, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Sebuah informasi yang dianggap cukup memadai demikian itu sesungguhnya tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tutur dalam aktivitas bertutur. Tuturan yang tidak mengandung infromasi yang sungguh-sungguh diperlukan oleh mitra tutur dalm aktivitas bertutur demikan itu dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama Grice (Kunjana, 2007:54). Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi berlebihan, yang berlimpah-limpah, maka akan dapat dikatkan bahwa demikian itu melanggar maksim.
Contoh :
(a)   “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”
(b)   “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi !” Informasi :
tuturan  (a) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat infromatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (b) justru membuat tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang, tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya kultur masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan akan semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa  untuk menunjukkan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati prinsip kerjasama ini.
2.    Maksim Kualitas
Maksim ini mengharapkan seorang penutur dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di dalam aktivitas bertutur sesungguhnya. Fakta kebahasaan yang demikian itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas, konkrit, nyata dan terukur. Maka sebuah tuturan akan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila tuturan sesuai dengan faktanya, sesuai dengan keadaan sesungguhnya, tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat, tidak direkayasa.
Contoh:
(a)   “Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilanya”
(b)   “Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !”
Informasi:
Tuturan  (a) dan (b) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekkan. Tuturan (b) jelas memungkinkan terjadinya kerjasama anatara penutur dan mitra tutur. Tuturan (a) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan seharusnya dilakukan seorang dosen. Akan menjadi sesuatu kejanggalan apabila didalam dunia pendidikan terdapat dosen yang mempersilahkan para mahasiswanya  melakukan penyontekan saat ujian berlangsung.
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang sejelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan kata lain, untuk bertutur  yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.
3.     Maksim Relevansi
Dalam maksim relevansi dengan tegas dinyatakan bahwa agar dapat terjalin kerjasama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan mitra tutur dalam praktek bertutur sapa yang sesungguhnya masing-masing hendaknya berkontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang diperbincangkan itu. Dalam prinsip relevansi ini, setiap orang yang terlibat di dalam praktek bertutur itu harus berkontribusi secara relevan terhadap setiap aktivitas pertuturan.
Contoh:
(a)   Direktur           : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu !”
(b)   Sekretaris        : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”
Informasi:
Tuturan seorang direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama. Dengan tuturan di atas dapat dipakai sebagi salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerjasama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalm pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khususnya sifatnya.
4.    Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan dalam prinsip kerjasama Grice mengharuskan setiap peserta pertuturan dalam aktivitas bertutur sapa yang sebenarnya menyampaikan infromasi dengan secara langsung, dengan jelas, tidak kabur, tidak samar, tidak berbelit-belit.
Contoh:
(a)   “Ayo cepat dibuka !”
(b)   “Sebentar dulu, masih dingin.”
Informasi:
Tuturan seorang kakak kepada adiknya. Hal tersebut memilki kadar kejelasan yang rendah. Karena kadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (a) sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta si mitra. Kata ‘dibuka’ dalam tuturan diatas juga mengandung kadar kekaburan sangat tinggi. Oleh karenannya, makna pun menjadi kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Begitu pula dengan tuturan yang disampaikan oleh si mitra tutur (b) mengandung kadar kekaburan yang cukup tinggi. Kata ‘dingin’ pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih ‘dingin’ itu. Tuturan tersebut dapat dikatakan melanggar prinsip kerjasama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanan.

Daftar Pustaka
Mujiyono, Wiryationo. 1996. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Malang: IKIP Malang.

Tindak Tutur/ Speech Act Versi Austin dan Searle



Tindak Tutur/ Speech Act
(Austin dan Searle)
By: Ulul Azmi

Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual, karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan. Misalnya menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara ini, “Saya memerintahkan anda untuk meninggalkan gedung ini segera”. Tuturan tersebut juga dapat dinyatakan dengan tuturan “Mohon anda meninggalkan tempat ini sekarang juga” atau cukup dengan tuturan “Keluar”. Ketiga contoh tuturan di atas dapat ditafsirkan sebagai perintah apabila konteksnya sesuai.
Tindak Tutur Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan fakta atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau secara salah (Malmkjer, 2006: 560). Padahal, menurut Austin, banyak kalimat deklaratif yang tidak mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun, sehingga tidak bisa dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut adalah (bagian dari) kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya nikahkan … dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” yang diucapkan oleh penghulu di sebuah acara pernikahan merupakan “the doing of some action”, dalam hal ini, merupakan tindakan penghulu dalam menikahkan pasangan pengantin, bukan sekedar perkataan belaka, atau “saying something” (hal. 560).
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu ujaran konstatif dan performatif. Ujaran konstantif merupakan ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah. Semisal: Kamu terlihat bahagia.
Ujaran performatif, yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur. Semisal: “Kamu dipecat!”.

Tindak Tutur Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
(1)   tindak lokusioner,
Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.
(2)   tindak ilokusioner,
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.
(3)   tindak perlokusi.
Tindakan perlokusi adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Daftar Pustaka
Malmkjer, K. (2006). The Linguistics Encyclopedia. London: Routledge
Rahardi, K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Honorifik dan Sapaan



Honorifik dan Sapaan
By: Ulul Azmi

Penggunaan bahasa tentu tidak terlepas dari  implementasi norma dan budaya. Seringkali dalam budaya tertentu terdapat norma-norma yang secara tidak tertulis mengatur bagaimana sebaiknya seseorang berbicara. Aturan tersebut merupakan norma yang ada pada masyarakat untuk mengatur bagaimana, kapan, dengan siapa, dalam konteks apa, dan dalam situasi bagaimana seseorang dianggap mampu berbicara dengan baik. Oleh karena itu, cara berbicara tersebut menggunakan pemilihan kata yang mmenunjukkan sebuah penghormatan yang disebut dengan honorifik, dan penggunaaan sapaan.
1.        Honorifik
Kata ‘politeness’ dapat diartikan ‘kesopanan’. Meski sering disejajarkan dan dipasangkan, kata sopan dan kata santun memiliki arti yang berbeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata sopan sebagai sifat hormat dan takzim serta tertib menurut adat yang baik. Sementara itu, kata santun berarti sifat halus dan baik budi bahasanya serta tingkah lakunya. Dengan demikian, sopan santun dapat diartikan sebagai sifat hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sopan santun adalah seseorang yang hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya. Kridalaksana (2008:85) menyatakan bahwa honorik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Bentuk lingual yang dimaksud bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai adanya afiksasi.
Contoh:
a.      Honorifik dalam bahasa Inggris
Yule (1996: 60) mencontohkan honorifik dalam Bahasa Inggris sebagai berikut.
(a) Excuse me, Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
(b) Hey, Bucky, got a minute?
Kalimat (a) dianggap lebih sopan dan lebih memiliki rasa hormat yang tinggi dibandingkan kalimat (b) meski maksud dari kedua kalimat tanya tersebut sama. 
b.      Honorifik dalam bahasa Jawa
(a)   Kowe arep lunga menyang ngendhi? 
(b)   Sampeyan ajeng kesah dhateng pundhi?  
(c)    Panjenengan badhe tindhak dhateng pundhi? 
Ketiga kalimat tanya tersebut memilik arti yang sama yaitu Kamu/Anda mau pergi ke mana?. Namun, berdasarkan tataran bahasa jawa tingkat kesopanan ketiga kalimat tersebut berbeda. Kalimat (c) dianggap paling sopan apabila dibandingkan dengan kalimat (b) dan (a). Sementara itu, kalimat (b) dianggap lebih sopan dibandingkan dengan kalimat (a). Dalam hal ini, honorifik dalam Bahasa Jawa sangat jelas bisa dilihat karena Bahasa Jawa mengenal aturan kebahasaan yang disebut  unda usuking basa. Aturan tersebut berupa tataran tingkatan kesopanan dan bentuk penghormatan yang bertumpu pada lawan bicara.
c.       Honorifik dalam bahasa Indonesia
(a) Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
(b) Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
(c) Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Dia pergi lima menit yang lalu.
(b) Beliau pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
(b) Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
(c) Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
(d) Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Keempat kalimat di atas memiliki maksud yang sama tetapi kalimat (a) dianggap paling sopan dibandingkan ketiga kalimat yang lain.

2.        Sapaan
Kridalaksana (1982 :14) menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.  Adapun pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan bicara, serta orang yang sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Kridalaksana diketahui bahwa terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa, yaitu kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang digunakan dalam sistem tutur sapa merujuk pada kata sapaan. Adapun para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa merujuk pada pembicara dan lawan bicara. Kata sapaan berfungsi untuk memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Contoh:
Kata sapaan dalam bahasa Indonesia
Kridalaksana menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi sembilan jenis, yaitu: (1) kata ganti, seperti aku, kamu, dan ia; (2) nama diri, seperti Ridan dan Umi; (3) istilah kekerabatan, seperti bapak dan ibu; (4) gelar dan pangkat, seperti dokter dan guru; (5) bentuk pe+V(erbal) atau kata pelaku, seperti penonton dan pendengar; (6) bentuk N(ominal) + ku seperti kekasihku dan Tuhank; (7) kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ; (8) kata benda lain, seperti tuan dan nyonya; serta (9) ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa lawan bicaranya bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status dapat diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara. Status ini juga dapat diartikan seebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.

Daftar Pustaka
George Yule. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Harimurti Kridalaksana. (1982). Dinamika tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara.
Harimurti Kridalaksana. (2008). Kamus linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.