Senin, 10 Juni 2013

Honorifik dan Sapaan



Honorifik dan Sapaan
By: Ulul Azmi

Penggunaan bahasa tentu tidak terlepas dari  implementasi norma dan budaya. Seringkali dalam budaya tertentu terdapat norma-norma yang secara tidak tertulis mengatur bagaimana sebaiknya seseorang berbicara. Aturan tersebut merupakan norma yang ada pada masyarakat untuk mengatur bagaimana, kapan, dengan siapa, dalam konteks apa, dan dalam situasi bagaimana seseorang dianggap mampu berbicara dengan baik. Oleh karena itu, cara berbicara tersebut menggunakan pemilihan kata yang mmenunjukkan sebuah penghormatan yang disebut dengan honorifik, dan penggunaaan sapaan.
1.        Honorifik
Kata ‘politeness’ dapat diartikan ‘kesopanan’. Meski sering disejajarkan dan dipasangkan, kata sopan dan kata santun memiliki arti yang berbeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata sopan sebagai sifat hormat dan takzim serta tertib menurut adat yang baik. Sementara itu, kata santun berarti sifat halus dan baik budi bahasanya serta tingkah lakunya. Dengan demikian, sopan santun dapat diartikan sebagai sifat hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sopan santun adalah seseorang yang hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya. Kridalaksana (2008:85) menyatakan bahwa honorik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Bentuk lingual yang dimaksud bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai adanya afiksasi.
Contoh:
a.      Honorifik dalam bahasa Inggris
Yule (1996: 60) mencontohkan honorifik dalam Bahasa Inggris sebagai berikut.
(a) Excuse me, Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
(b) Hey, Bucky, got a minute?
Kalimat (a) dianggap lebih sopan dan lebih memiliki rasa hormat yang tinggi dibandingkan kalimat (b) meski maksud dari kedua kalimat tanya tersebut sama. 
b.      Honorifik dalam bahasa Jawa
(a)   Kowe arep lunga menyang ngendhi? 
(b)   Sampeyan ajeng kesah dhateng pundhi?  
(c)    Panjenengan badhe tindhak dhateng pundhi? 
Ketiga kalimat tanya tersebut memilik arti yang sama yaitu Kamu/Anda mau pergi ke mana?. Namun, berdasarkan tataran bahasa jawa tingkat kesopanan ketiga kalimat tersebut berbeda. Kalimat (c) dianggap paling sopan apabila dibandingkan dengan kalimat (b) dan (a). Sementara itu, kalimat (b) dianggap lebih sopan dibandingkan dengan kalimat (a). Dalam hal ini, honorifik dalam Bahasa Jawa sangat jelas bisa dilihat karena Bahasa Jawa mengenal aturan kebahasaan yang disebut  unda usuking basa. Aturan tersebut berupa tataran tingkatan kesopanan dan bentuk penghormatan yang bertumpu pada lawan bicara.
c.       Honorifik dalam bahasa Indonesia
(a) Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
(b) Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
(c) Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Dia pergi lima menit yang lalu.
(b) Beliau pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat dilihat penggunaan kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
(b) Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
(c) Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
(d) Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Keempat kalimat di atas memiliki maksud yang sama tetapi kalimat (a) dianggap paling sopan dibandingkan ketiga kalimat yang lain.

2.        Sapaan
Kridalaksana (1982 :14) menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.  Adapun pelaku yang dimaksud merujuk pada pembicara, lawan bicara, serta orang yang sedang dibicarakan. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Kridalaksana diketahui bahwa terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa, yaitu kata atau ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang digunakan dalam sistem tutur sapa merujuk pada kata sapaan. Adapun para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa merujuk pada pembicara dan lawan bicara. Kata sapaan berfungsi untuk memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Contoh:
Kata sapaan dalam bahasa Indonesia
Kridalaksana menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi sembilan jenis, yaitu: (1) kata ganti, seperti aku, kamu, dan ia; (2) nama diri, seperti Ridan dan Umi; (3) istilah kekerabatan, seperti bapak dan ibu; (4) gelar dan pangkat, seperti dokter dan guru; (5) bentuk pe+V(erbal) atau kata pelaku, seperti penonton dan pendengar; (6) bentuk N(ominal) + ku seperti kekasihku dan Tuhank; (7) kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan situ; (8) kata benda lain, seperti tuan dan nyonya; serta (9) ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna tanpa disertai bentuk kata tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa lawan bicaranya bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status dapat diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara. Status ini juga dapat diartikan seebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.

Daftar Pustaka
George Yule. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Harimurti Kridalaksana. (1982). Dinamika tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara.
Harimurti Kridalaksana. (2008). Kamus linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar