Honorifik dan Sapaan
By: Ulul Azmi
Penggunaan bahasa tentu tidak terlepas dari
implementasi norma dan budaya. Seringkali dalam budaya tertentu terdapat
norma-norma yang secara tidak tertulis mengatur bagaimana sebaiknya seseorang
berbicara. Aturan tersebut merupakan norma yang ada pada masyarakat untuk
mengatur bagaimana, kapan, dengan siapa, dalam konteks apa, dan dalam situasi
bagaimana seseorang dianggap mampu berbicara dengan baik. Oleh karena itu, cara
berbicara tersebut menggunakan pemilihan kata yang mmenunjukkan sebuah
penghormatan yang disebut dengan honorifik, dan penggunaaan sapaan.
1.
Honorifik
Kata ‘politeness’ dapat diartikan
‘kesopanan’. Meski sering
disejajarkan dan dipasangkan, kata sopan
dan kata santun memiliki arti yang
berbeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata sopan sebagai sifat hormat dan takzim serta tertib menurut adat
yang baik. Sementara itu, kata santun
berarti sifat halus dan baik budi bahasanya serta tingkah lakunya. Dengan demikian,
sopan santun dapat diartikan sebagai
sifat hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta
baik perilakunya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sopan santun adalah
seseorang yang hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi
bahasa, serta baik perilakunya. Kridalaksana (2008:85) menyatakan bahwa honorik
sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang
dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Bentuk lingual yang
dimaksud bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks seperti dalam bahasa
Jepang yang ditandai adanya afiksasi.
Contoh:
a.
Honorifik dalam bahasa Inggris
Yule (1996: 60) mencontohkan honorifik dalam Bahasa
Inggris sebagai berikut.
(a) Excuse me,
Mr. Buckingham, but can I talk to you for a minute?
(b) Hey, Bucky,
got a minute?
Kalimat (a) dianggap lebih sopan dan lebih memiliki
rasa hormat yang tinggi dibandingkan kalimat (b) meski maksud dari kedua
kalimat tanya tersebut sama.
b.
Honorifik dalam bahasa Jawa
(a) Kowe arep lunga menyang ngendhi? (b) Sampeyan ajeng kesah dhateng pundhi?
(c) Panjenengan badhe tindhak dhateng pundhi?
Ketiga kalimat tanya tersebut memilik arti yang sama yaitu Kamu/Anda mau pergi ke mana?. Namun, berdasarkan tataran bahasa jawa tingkat kesopanan ketiga kalimat tersebut berbeda. Kalimat (c) dianggap paling sopan apabila dibandingkan dengan kalimat (b) dan (a). Sementara itu, kalimat (b) dianggap lebih sopan dibandingkan dengan kalimat (a). Dalam hal ini, honorifik dalam Bahasa Jawa sangat jelas bisa dilihat karena Bahasa Jawa mengenal aturan kebahasaan yang disebut unda usuking basa. Aturan tersebut berupa tataran tingkatan kesopanan dan bentuk penghormatan yang bertumpu pada lawan bicara.
c.
Honorifik dalam bahasa Indonesia
(a) Apakah ada yang ingin kamu tanyakan?
(b) Apakah ada yang ingin Anda tanyakan?
(c) Apakah ada yang ingin Saudara tanyakan?
Dari ketiga kalimat tanya di atas, dapat dilihat
penggunaan kata ganti orang kedua yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan
rasa hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Dia
pergi lima menit yang lalu.
(b) Beliau
pergi lima menit yang lalau.
Dari kedua kalimat di atas, dapat dilihat penggunaan
kata ganti orang ketiga yang berbeda memberikan tingkat kesopanan dan rasa
hormat yang berbeda pula. Contoh lain sebagai berikut.
(a) Maaf Pak, mohon izin ke belakang.
(b) Maaf Pak, mohon izin ke kamar kecil.
(c) Maaf Pak, mohon izin ke toilet.
(d) Maaf Pak, mohon izin ke WC.
Keempat kalimat di atas memiliki maksud yang sama tetapi kalimat (a) dianggap paling sopan dibandingkan ketiga
kalimat yang lain.
2.
Sapaan
Kridalaksana (1982 :14) menjelaskan bahwa kata sapaan merujuk pada kata
atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu
peristiwa bahasa. Adapun pelaku yang
dimaksud merujuk pada pembicara, lawan bicara, serta orang yang sedang
dibicarakan. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Kridalaksana diketahui
bahwa terdapat dua unsur penting dalam sistem tutur sapa, yaitu kata atau
ungkapan dan para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata atau ungkapan yang
digunakan dalam sistem tutur sapa merujuk pada kata sapaan. Adapun para pelaku
dalam suatu peristiwa bahasa merujuk pada pembicara dan lawan bicara. Kata
sapaan berfungsi untuk memperjelas kepada siapa pembicaraan itu ditujukan.
Contoh:
Kata sapaan
dalam bahasa Indonesia
Kridalaksana menggolongkan kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi
sembilan jenis, yaitu: (1) kata ganti, seperti aku, kamu, dan ia; (2)
nama diri, seperti Ridan dan Umi; (3) istilah kekerabatan, seperti bapak dan ibu; (4) gelar dan pangkat, seperti dokter dan guru; (5)
bentuk pe+V(erbal) atau kata pelaku, seperti penonton dan pendengar; (6)
bentuk N(ominal) + ku seperti kekasihku dan Tuhank; (7)
kata deiksis atau penunjuk, seperti sini dan
situ; (8) kata benda lain, seperti tuan dan nyonya; serta (9) ciri zero atau nol, yakni adanya suatu makna
tanpa disertai bentuk kata tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa
lawan bicaranya bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling
banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan
suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi.
Status dapat diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara.
Status ini juga dapat diartikan seebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud
adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.
Daftar Pustaka
George Yule. 1996. Pragmatics.
Oxford: Oxford University Press.
Harimurti Kridalaksana. (1982). Dinamika
tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara.
Harimurti Kridalaksana. (2008). Kamus linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar