Speech Act/Tindak Tutur Versi Grice
By: Ulul Azmi
Tindak tutur merupakan salah satu fenomena yang dikenal dengan istilah
pragmatik. Pragmatik sendiri lazim diberi definisi sebagai “telaah mengenai
hubungan di antara lambang dan penafsiran” (Purwo, 1990). Yang dimaksud
dengan lambang disini adalah satuan ujaran, entah berupa satu kalimat atau
lebih, yang membawa makna tertentu, yang di dalam pragmatik ditentukan atas
hasil penafsiran si pendengar.
Grice (Mujiyono, 1996:40) mengemukakan bahwa
percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah
prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama. Kerjasama yang terjalin dalam
komunikasi ini terwujud dalam empat maksim, yaitu :
1.
Maksim Kuantitas
Dalam maksim kuantitas ini, seorang penutur diharapkan
dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif
mungkin. Sebuah informasi yang dianggap cukup memadai demikian itu sesungguhnya
tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tutur
dalam aktivitas bertutur. Tuturan yang tidak mengandung infromasi yang
sungguh-sungguh diperlukan oleh mitra tutur dalm aktivitas bertutur demikan itu
dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama Grice
(Kunjana, 2007:54). Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung
informasi berlebihan, yang berlimpah-limpah, maka akan dapat dikatkan bahwa
demikian itu melanggar maksim.
Contoh :
(a) “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding
lagi!”
(b) “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan
petinju kelas berat itu mau bertanding lagi !” Informasi :
tuturan (a) dalam contoh di atas merupakan
tuturan yang sudah jelas dan sangat infromatif isinya. Dapat dikatakan
demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah
dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan
informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (b) justru membuat tuturan menjadi
berlebihan dan terlalu panjang. Pernyataan yang demikian dalam banyak hal,
kadang-kadang, tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia,
khususnya kultur masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang
sebuah tuturan akan semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek
sebuah tuturan, akan semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa untuk menunjukkan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa
Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati prinsip
kerjasama ini.
2.
Maksim Kualitas
Maksim ini mengharapkan seorang penutur dapat
menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di
dalam aktivitas bertutur sesungguhnya. Fakta kebahasaan yang demikian itu harus
didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas, konkrit, nyata dan
terukur. Maka sebuah tuturan akan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik
apabila tuturan sesuai dengan faktanya, sesuai dengan keadaan sesungguhnya,
tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat, tidak direkayasa.
Contoh:
(a) “Silahkan menyontek saja biar nanti
saya mudah menilanya”
(b) “Jangan menyontek, nilainya bisa E
nanti !”
Informasi:
Tuturan (a) dan (b) dituturkan oleh dosen kepada
mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa
yang sedang berusaha melakukan penyontekkan. Tuturan (b) jelas memungkinkan
terjadinya kerjasama anatara penutur dan mitra tutur. Tuturan (a) dikatakan
melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya
tidak sesuai dengan seharusnya dilakukan seorang dosen. Akan menjadi sesuatu
kejanggalan apabila didalam dunia pendidikan terdapat dosen yang mempersilahkan
para mahasiswanya melakukan penyontekan saat ujian berlangsung.
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur
sangat lazim menggunakan tuturan yang tidak senyatanya dan tidak disertai
dengan bukti-bukti yang sejelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa
basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan
membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan kata lain, untuk
bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan
tidak dipenuhi.
3.
Maksim
Relevansi
Dalam maksim relevansi dengan tegas dinyatakan bahwa
agar dapat terjalin kerjasama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan
mitra tutur dalam praktek bertutur sapa yang sesungguhnya masing-masing
hendaknya berkontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang
diperbincangkan itu. Dalam prinsip relevansi ini, setiap orang yang terlibat di
dalam praktek bertutur itu harus berkontribusi secara relevan terhadap setiap
aktivitas pertuturan.
Contoh:
(a) Direktur :
“Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu !”
(b) Sekretaris : “Maaf Bu, kasihan
sekali nenek tua itu.”
Informasi:
Tuturan seorang direktur kepada sekretarisnya pada
saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja direktur. Pada saat itu,
ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama. Dengan tuturan di atas dapat
dipakai sebagi salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerjasama
tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalm pertuturan sesungguhnya. Hal
seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila tuturan tersebut dimaksudkan
untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khususnya sifatnya.
4.
Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan dalam prinsip kerjasama Grice
mengharuskan setiap peserta pertuturan dalam aktivitas bertutur sapa yang
sebenarnya menyampaikan infromasi dengan secara langsung, dengan jelas, tidak
kabur, tidak samar, tidak berbelit-belit.
Contoh:
(a) “Ayo cepat dibuka !”
(b) “Sebentar dulu, masih dingin.”
Informasi:
Tuturan seorang kakak kepada adiknya. Hal tersebut memilki
kadar kejelasan yang rendah. Karena kadar kejelasan rendah dengan sendirinya
kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (a) sama sekali
tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta si mitra. Kata ‘dibuka’
dalam tuturan diatas juga mengandung kadar kekaburan sangat tinggi. Oleh
karenannya, makna pun menjadi kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu
dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Begitu pula dengan tuturan yang
disampaikan oleh si mitra tutur (b) mengandung kadar kekaburan yang cukup
tinggi. Kata ‘dingin’ pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak
kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa
sebenarnya yang masih ‘dingin’ itu. Tuturan tersebut dapat dikatakan
melanggar prinsip kerjasama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanan.
Daftar Pustaka
Mujiyono, Wiryationo. 1996. Implikatur Percakapan Anak
Usia Sekolah Dasar. Malang: IKIP Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar