Tindak Tutur/ Speech Act
(Austin dan Searle)
By: Ulul Azmi
Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam
setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa
pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Bahasa itu
selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual, karena itu
tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak
tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan
ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain
seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur
memiliki bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan. Misalnya menurut
ketentuan hukum yang berlaku di negara ini, “Saya memerintahkan anda untuk
meninggalkan gedung ini segera”. Tuturan tersebut juga dapat dinyatakan dengan
tuturan “Mohon anda meninggalkan tempat ini sekarang juga” atau cukup dengan
tuturan “Keluar”. Ketiga contoh tuturan di atas dapat ditafsirkan sebagai
perintah apabila konteksnya sesuai.
Tindak Tutur
Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’,
yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan
fakta atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau
secara salah (Malmkjer, 2006: 560). Padahal, menurut Austin, banyak kalimat
deklaratif yang tidak mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun,
sehingga tidak bisa dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut
adalah (bagian dari) kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya nikahkan …
dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” yang diucapkan oleh
penghulu di sebuah acara pernikahan merupakan “the doing of some action”,
dalam hal ini, merupakan tindakan penghulu dalam menikahkan pasangan pengantin,
bukan sekedar perkataan belaka, atau “saying something” (hal. 560).
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu ujaran konstatif dan
performatif. Ujaran konstantif merupakan ujaran yang tidak melakukan tindakan
dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif
adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh
jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi
pada masa lalu. Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar
atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta
sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah. Semisal: Kamu
terlihat bahagia.
Ujaran performatif, yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si
penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan
benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan
perilaku atau perbuatan si penutur. Semisal: “Kamu dipecat!”.
Tindak Tutur
Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya
terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
(1)
tindak lokusioner,
Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata,
frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam
lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud
dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku
gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra
tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam
keadaan gatal.
(2)
tindak ilokusioner,
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu
dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan
sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan
penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa
pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada
tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur
melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur,
misalnya mitra tutur mengambil balsem.
(3)
tindak perlokusi.
Tindakan perlokusi adalah tindak menumbuh pengaruh (effect)
kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting
someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk
menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut
itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang
pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai
orang lain.
Daftar Pustaka
Malmkjer, K.
(2006). The Linguistics Encyclopedia. London: Routledge
Rahardi, K.
2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar