Senin, 10 Juni 2013

Tindak Tutur/ Speech Act Versi Austin dan Searle



Tindak Tutur/ Speech Act
(Austin dan Searle)
By: Ulul Azmi

Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual, karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan. Misalnya menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara ini, “Saya memerintahkan anda untuk meninggalkan gedung ini segera”. Tuturan tersebut juga dapat dinyatakan dengan tuturan “Mohon anda meninggalkan tempat ini sekarang juga” atau cukup dengan tuturan “Keluar”. Ketiga contoh tuturan di atas dapat ditafsirkan sebagai perintah apabila konteksnya sesuai.
Tindak Tutur Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan fakta atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau secara salah (Malmkjer, 2006: 560). Padahal, menurut Austin, banyak kalimat deklaratif yang tidak mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun, sehingga tidak bisa dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut adalah (bagian dari) kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya nikahkan … dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” yang diucapkan oleh penghulu di sebuah acara pernikahan merupakan “the doing of some action”, dalam hal ini, merupakan tindakan penghulu dalam menikahkan pasangan pengantin, bukan sekedar perkataan belaka, atau “saying something” (hal. 560).
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu ujaran konstatif dan performatif. Ujaran konstantif merupakan ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah. Semisal: Kamu terlihat bahagia.
Ujaran performatif, yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur. Semisal: “Kamu dipecat!”.

Tindak Tutur Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
(1)   tindak lokusioner,
Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.
(2)   tindak ilokusioner,
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.
(3)   tindak perlokusi.
Tindakan perlokusi adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Daftar Pustaka
Malmkjer, K. (2006). The Linguistics Encyclopedia. London: Routledge
Rahardi, K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar